Contoh Materi Kultum Tema Halal Bi Halal

Contoh Materi Kultum Tema Halal Bi Halal
Contoh Materi Kultum Tema Halal Bi HalalSebenarnya istilah Halalbihalal tidak dikenal oleh kalangan bangsa Arab, tidak pula ada pada zaman Nabi saw. dan para sahabat. Karenanya, kamus bahasa Arab juga tak mengenal istilah itu. Justru ‘halalbihalal’ masuk dan diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sekelompok orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia.” Para ulama kita terdahulu mendasarkan kegiatan halal bihalal tersebut pada sebuah hadits shahih dari Imam Bukhari seperti di bawah ini:
Artinya: “Barangsiapa yang berbuat kezhaliman (kesalahan) kepada saudaranya sehingga merendahkan derajatnya, maka hendaklah ia meminta halal hal tersebut dari saudaranya itu pada hari ini.”
Ada dua hal yang perlu digarisbawahi di sini:
falyatahallal, yakni meminta halal, itu berarti bukan sekedar meminta maaf, tetapi juga harus mengembalikan hak saudaranya yang telah ia langgar. Jika itu berupa barang, hendaknya dikembalikan. Ketika orang saling meminta halal, maka terjadilah ‘halal-halalan’; yang kemudian di-Arab-kan menjadi ‘halal-bi-halal’. Halal dengan halal. Acara ini kemudian berkembang menjadi sangat bervariasi ragam bentuk dan acaranya hingga saat ini.

Merajut Pakaian Taqwa
Pada hakekatnya, pakaian adalah segala yang “melekat” di badan ini; entah baju, celana, segala aksesoris yang “melekat” lainnya, termasuk perhiasan. Selaras dengan pengertian ini, bahkan Allah membahasakan suami sebagai “pakaian” dari istri; dan istri adalah “pakaian” dari suami (Q.S. Al-Baqarah: 187: hunna libaasul lakum wa antum libaasun lahunna). Mungkin karena suami dan istri pun “melekat” satu sama lain, hingga mereka tak ubahnya seperti pakaian. Setidaknya ada 3 macam fungsi pakaian yang disebut di dalam Al-Qur’an. Pertama, pakaian sebagai penutup aurat (Q.S. An-Nuur: 58 dan Al-A’raf: 26). Kedua, pakaian sebagai perhiasan (Q.S. Al-A’raf: 26). Dan ketiga, pakaian sebagai pelindung, yakni dari panas dan hujan, juga dari serangan musuh (Q.S. An-Nahl:81).

Tak kurang dari 20 ayat ditemukan di dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang pakaian. Entah memakai bahasa “libaasun”, “kiswatun”, “saraabil”, maupun “tsiyab”. Namun, semuanya berbicara tentang pakaian lahiriah. Pakaian dunia. Hanya ada satu yang menyebutkan tentang pakaian ruhani.
Pakaian ruhani adalah sebenar-benar pakaian, yang menunjukkan baik buruknya seseorang. Meski seseorang mengenakan pakaian lahiriah yang mewah dan mahal, tetapi jika pakaian ruhaninya rusak, jelek, terhina, maka dirinya akan terhina pula. Pakaian lahiriahnya tidak bermanfaat apa-apa. Pakaian lahiriahnya tak bisa melindungi kejelekannya. Mungkin ia akan mulia dalam pandangan manusia, tetapi tidak dalam pandangan Allah.

Apakah pakaian ruhani yang dimaksud? Al-Qur’an menyebutnya sebagai pakaian taqwa (libaasut taqwa). Sebagaimana firmannya, “Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Q.S. Al-A’raf: 26). Tentang taqwa, imam Ali karramallahu wajhah berkata: (Takut kepada Zat Yang Mahaagung; mengamalkan apa yang diturunkan (al-Qur’an); dan menyiapkan diri untuk menyambut datangnya hari yang kekal [akhirat]).

Ramadan adalah hari-hari dimana kita memintal benang-benang pakaian takwa itu. Hari demi hari kita memintalnya, dengan harapan pada akhir Ramadan, hari kemenangan Idul Fitri, pakaian itu telah sempurnalah sudah dan bisa kita kenakan di hari yang berbahagia itu. Bukan untuk dipakai sekali, setelah itu dilepas kembali. Bukan. Tetapi, pakaian takwa itu seharusnya kita pakai seterusnya sampai tiba kembali Ramadan berikutnya, dimana kita akan memeriksa pakaian takwa itu kembali barangkali ada lubang, kotor, sobek dsb yang perlu kita cuci, jahit dan rajut kembali. Bagaimana kita merajutnya? Barangkali di sinilah relevannya sabda Nabi Saw., “Jika datang bulan Ramadan, maka dibuka pintu-pintu syurga, ditutup pintu-pintu neraka, dan dibelenggu semua syaitan.” (muttafaq ‘alaih).

Semua tidak lain sebagai motivasi buat kita untuk memperbanyak amal kebaikan kita. Mumpung kesempatan itu dibuka lebar-lebar oleh Allah. Allah sedang membuka “Big Sale”. Obral besar-besaran. Tarawih, tadarus, sadaqah, membayar zakat, menolong orang, memberi ta’jil orang berbuka puasa, menghentikan menggunjing orang. Semuanya adalah jalan-jalan kebaikan; jalan-jalan merajut pakaian takwa kita.hhh.    al-yauma, yakni pada hari ini. ‘Hari ini’ yang dimaksud tidak lain adalah hari raya Idul Fitri, karena menurut sebagian riwayat, Rasulullah saw. mengucapkan hadits itu saat hari raya Idul Fitri. Ada pula yang mengartikan ‘pada hari ini (juga)’. Yakni bahwa ketika kita membuat kesalahan pada seseorang, hendaknya kita meminta halal kepadanya hari ini juga, jangan ditunda-tunda.

Mengapa halalbihalal dilaksanakan pada Syawal selepas Ramadhan?
Selain dasar hadits tersebut, bahwa al-yauma itu tidak lain adalah hari raya Idul Fitri, para ulama mendasarkan juga pada QS. Al-Baqarah: 133-134, bahwa ciri orang yang bertakwa (sebagai output dari ibadah ramadhan) salah satunya adalah al-kaazhimiinal gaidh, yakni ‘memaafkan kesalahan manusia.’ Karena itu, ketika pada ramadhan kita memperbaiki hubungan vertikal dengan Allah (hablun minallah), maka ketika Syawal tiba saatnya kita melengkapinya dengan memperbaiki hubungan horisontal dengan sesama manusia (hablun minannas), yakni dengan cara saling memaafkan; saling meminta halal atas kesalahan kita masing-masing.  Maka jadilah tradisi halalbihalal sebagaimana berkembang seperti sekarang ini; yang khas Indonesia.

Sumber : media internet